Kamis, 27 November 2014

Pendonor Kalangan Muda, Tertinggi di Jawa Tengah

SEMARANG - Jumlah pendonor darah dari kalangan muda (kelompok umur 17 – 30 tahun) merupakan yang tertinggi di Provinsi Jawa Tengah. Berdasarkan data yang diterima Palang Merah Indonesia (PMI) Provinsi Jawa Tengah sampai dengan Triwulan III tahun 2014, penerimaan darah di Jawa Tengah sebanyak 233.888 kantong darah atau rata-rata 650 kantong per hari. Jumlah Donor Darah Sukarela (DDS) sebesar 98% (228.982 kantong darah) dan Donor Darah Pengganti (DDP) sebesar 2% (4.906 kantong darah).
“Menurut umur, sebagian besar pendonor darah adalah usia muda antara 17 – 30 tahun yakni sebanyak 44%.  Ini sangat menggembirakan untuk Jawa Tengah,” ucap Ketua PMI Provinsi Jawa Tengah H Sasongko Tedjo SE MM pada acara Penyerahan Penghargaan dan Temu Donor Darah Sukarela (DDS) ke – 50 dan 75 kali Provinsi Jawa Tengah Tahun 2014 di Gradhika Bhakti Praja, Kamis (30/10).
Berdasarkan data tersebut, dapat disimpulkan bahwa dari tahun ke tahun jumlah pendonor berasal dari kalangan muda makin meningkat. Sasongko menyampaikan pada tanggal 3 mei 2015 yang lalu PMI Provinsi Jawa Tengah telah menyelenggarakan pencanangan gerakan “Yang Muda Yang Berdonor”, diikuti sekitar 3000 siswa dan mahasiswa se-kota Semarang dan perwakilan KSR se-Jawa Tengah. Dalam acara tersebut juga diadakan Donor Darah Sukarela Massal yang diikuti UDD PMI Kabupaten/kota se-Jawa Tengah yang berhasil mengumpulkan sebanyak 1.047 kantong darah.
Sasongko menyampaikan, penghargaan sebagai pahlawan kemanusian sudah sepantasnya diberikan kepada Donor Darah Sukarela (DDS). Mengingat para pendonor telah menyumbangkan darahnya dengan ikhlas tanpa pamrih, untuk disalurkan kepada siapa saja yang membutuhkan darah. Tanpa peduli siapa yang disumbang darahnya.
“Pendonor ini merupakan insan-insan yang mempunyai semangat kebangsaan dan pluralisme yang luar biasa,” katanya.
Menurutnya sudah menjadi tradisi bagi PMI memberikan penghargaan bagi para pendonor. Mereka yang sudah mendonor selama 50 kali dan 75 kali diberikan penghargaan oleh Gubernur. Diakuinya keberadaan PMI Provinsi Jawa Tengah dapat berperan aktif di tengah-tengah masyarakat tidak terlepas dari dukungan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah melalui hibah APBD yang jumlahnya meningkat dari tahun ke tahun. Hibah APBD Provinsi Jawa Tengah yang telah diberikan pada tahun 2013 sebesar Rp 1,9 miliar. Ke depan, Sasonggko berharap PMI berangsur-angsur punya kemandirian, termasuk dalam pendanaan kegiatannya.
“Jadi kegiatan hari ini terlaksana berkat dukungan dari APBD Pemerintah Provinsi Jawa Tengah,” ucapnya.
Gubernur Jawa Tengah H Ganjar Pranowo SH memberikan apresiasi positif kepada para pendonor darah yang dengan ikhlas dan tanpa pamrih telah mendonorkan darahnya. Menurutnya, setetes darah dari para pendonor sangat berharga bagi mereka yang membutuhkan.
“Niki luar biasa. Getih niku mboten wonten pabrike. Pabrike sinten? Pabrike nggih njenengan niku. Dadi njenengan niku catetane mboten ting PMI, catetane Insya Allah ting surga. Niki gerakan sing menurut kulo top markotop. Tur sing biasane wong gelem donor darah niku awake mesti seger,” ucap Ganjar dalam Bahasa Jawa karena setiap hari Kamis, untuk Komunikasi Lisan di Lingkungan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dan Pemerintah Kabupaten/Kota se-Jawa Tengah menggunakan Bahasa Jawa.
Pada kesempatan tersebut Gubernur Jawa Tengah H Ganjar Pranowo SH memberikan penghargaan secara simbolis kepada perwakilan Donor Darah Sukarela ke – 50 dan 75 kali dan Pemenang Lomba PMR Madya dan Wira Teladan se-Jawa Tengah.

Rabu, 26 November 2014

Sepenggal Cerita Wali Songo (SUNAN MURIA)




SUNAN MURIASUNAN MURIARADEN Umar Said sedang asyik berceramah di padepokannya di Desa Colo, Kecamatan Dawe, Kudus, ketika seorang pemuda datang berkunjung. Tanpa tedeng aling-aling, pemuda itu, Raden Bambang Kebo Anabrang, mengaku sebagai putra Raden Umar. Raden Umar terkejut mendengarnya. Ia segera membantah dan mengusir Kebo Anabrang.

Tetapi, Kebo Anabrang tetap bersikeras, tak mau meninggalkan padepokan sebelum Raden Umar mengaku sebagai ayahnya. Karena terus didesak, Raden Umar akhirnya mengalah. Tapi dengan satu syarat: Kebo Anabrang harus memindahkan salah satu pintu gerbang Kerajaan Majapahit di Trowulan, Mojokerto, ke padepokannya dalam semalam. Padahal, jaraknya mencapai sekitar 350 kilometer.

Berkat kesaktian Kebo Anabrang, pintu gerbang itu enteng saja dipikulnya. Tetapi, dalam perjalanan, Kebo Anabrang dihadang Raden Ronggo dari Kadipaten Pasatenan Pati. Raden Ronggo juga memerlukan gerbang itu untuk mempersunting Roro Pujiwati, putri Kiai Ageng Ngerang. Siapa saja yang sanggup membawa gerbang Majapahit itu ke Juana berhak melamar Roro Pujiwati.

Terjadilah pertarungan sengit. Masing-masing mengeluarkan kesaktiannya. Raden Umar terpaksa turun langsung melerai pertengkaran itu. ''Siapa yang sanggup mengangkat pintu gerbang, dialah yang berhak,'' kata Raden Umar. Ternyata, hanya Kebo Anabrang yang sanggup mengangkatnya. Ia pun melanjutkan perjalanan.

Tapi, apa lacur. Begitu melangkahkan kaki, terdengar kokok ayam bersahutan, pertanda pagi menjelang. Padahal, ia baru mencapai Dusun Rondole, Desa Muktiharjo, yang bejarak lima kilometer dari kota Pati. Konon, sampai kini pintu gerbang itu masih berdiri dan dikeramatkan penduduk setempat.

Itulah satu cuplikan cerita rakyat tentang Raden Umar Said, yang tak lain adalah Sunan Muria. Padepokannya di Colo terletak di lereng Gunung Muria, sekitar 800 meter di atas permukaan laut. Toh, kalaupun Kebo Anabrang berhasil, ia akan sulit menuliskan silsilahnya. Maklum, sampai kini belum ada telaah yang jelas mengenai asal-usul Sunan Muria.

Satu versi menyebutkan, Sunan Muria adalah putra Sunan Kalijaga. Ahli sejarah A.M. Noertjahjo (1974) dan Solihin Salam (1964, 1974) yakin dengan versi ini. Berdasarkan penelusuran mereka, pernikahan Sunan Kalijaga dengan Dewi Saroh binti Maulana Is-haq memperoleh tiga anak, yakni Sunan Muria, Dewi Rukayah, dan Dewi Sofiah.

Versi lain memaparkan, Sunan Muria adalah putra Raden Usman Haji alias Sunan Ngudung. Karya R. Darmowasito, Pustoko Darah Agung, yang berisi sejarah dan silsilah wali dan raja-raja Jawa, menyebutkan Sunan Muria sebagai putra Raden Usman Haji. Bahkan ada juga yang menyebutnya keturunan Tionghoa.

Dalam bukunya, Runtuhnya Kerajaan Hindhu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara (1968), Prof. Dr. Slamet Muljana menyebutkan ayah Sunan Muria, Sunan Kalijaga, tak lain seorang kapitan Tionghoa bernama Gan Sie Cang. Sunan Muria disebut ''tak pandai berbahasa Tionghoa karena berbaur dengan suku Jawa''.

Slamet mengacu pada naskah kuno yang ditemukan di Klenteng Sam Po Kong, Semarang, pada 1928. Pemerintahan Orde Baru ketika itu khawatir penemuan Slamet ini mengundang heboh. Akibatnya, karya Slamet itu masuk dalam daftar buku yang dilarang Kejaksaan Agung pada 1971. Sayang sekali, belum ada telaah mendalam mengenai berbagai versi itu.

Sejauh ini, karya Umar Hasyim, Sunan Muria: Antara Fakta dan Legenda (1983), bolehlah digolongkan penelitian awal yang mencoba menelusuri silsilah Sunan Muria secara lebih ilmiah. Ia berusaha membedakan cerita rakyat dengan fakta. Misalnya tentang Sunan Muria sebagai keturunan Tionghoa.

Umar mengumpulkan sejumlah pendapat ahli sejarah. Ternyata, keabsahan naskah kuno tadi meragukan, karena telah bercampur dengan dongeng rakyat. Walau begitu, Umar mengaku kadang-kadang terpaksa mengandalkan penafsirannya dalam menelusuri jejak Sunan Muria. Hasilnya, Umar cenderung pada versi Sunan Muria sebagai putra Sunan Kalijaga.

Toh, dari berbagai versi itu, tak ada yang meragukan reputasi Sunan Muria dalam berdakwah. Gayanya ''moderat'', mengikuti Sunan Kalijaga, menyelusup lewat berbagai tradisi kebudayaan Jawa. Misalnya adat kenduri pada hari-hari tertentu setelah kematian anggota keluarga, seperti nelung dino sampai nyewu, yang tak diharamkannya.

Hanya, tradisi berbau klenik seperti membakar kemenyan atau menyuguhkan sesaji diganti dengan doa atau salawat. Sunan Muria juga berdakwah lewat berbagai kesenian Jawa, misalnya mencipta macapat, lagu Jawa. Lagu sinom dan kinanti dipercayai sebagai karya Sunan Muria, yang sampai sekarang masih lestari.

Lewat tembang-tembang itulah ia mengajak umatnya mengamalkan ajaran Islam. Karena itulah, Sunan Muria lebih senang berdakwah pada rakyat jelata ketimbang kaum bangsawan. Maka daerah dakwahnya cukup luas dan tersebar. Mulai lereng-lereng Gunung Muria, pelosok Pati, Kudus, Juana, sampai pesisir utara.

Cara dakwah inilah yang menyebabkan Sunan Muria dikenal sebagai sunan yang suka berdakwah topo ngeli. Yakni dengan ''menghanyutkan diri'' dalam masyarakat. Sampai kini, kompleks makam Sunan Muria, yang terletak di Desa Colo, tak pernah sepi dari penziarah. ''Kurang lebih ada sekitar 15.000 penziarah tiap hari,'' tutur Muhammad Shohib, Ketua Yayasan Masjid dan Makam Sunan Muria.

Mereka berasal dari seluruh pelosok Nusantara. ''Bahkan ada yang datang dari luar negeri, terutama dari negara Islam,'' kata Shohib. Biasanya, kata Shohib, para penziarah ingin mendapat berkah untuk melicinkan usaha, atau mengharap jabatan yang lebih tinggi. Maka tak mengherankan, banyak juga pejabat negara yang datang ke makam Sunan Muria.

Dalam daftar tamu pengurus yayasan yang disodorkan Shohib, terdapat beberapa nama pejabat teras Jakarta. Menteri Koordinator Bidang Politik, Sosial, dan Keamanan, Susilo Bambang Yudhoyono, tercatat berziarah ke makam Sunan Muria pada 21 Oktober lalu. Mantan Ketua Dewan Koperasi Indonesia, Prof. Sri Edi Swasono, Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Tyasno Sudarto, dan Mantan Kepala Kepolisian RI, Jenderal Roesmanhadi, juga pernah membubuhkan namanya di buku tamu.

Tentu saja tak ketinggalan mantan Presiden KH Abdurrahman Wahid, yang memang rajin bertandang ke makam-makam. Menurut Shohib, Gus Dur berziarah beberapa pekan sebelum lengser dari kursi kepresidenan. ''Hanya saja, ia tak mau mengisi buku tamu,'' kata Shohib. Di kalangan pejabat yang hobi berziarah, kata Shohib, berkembang kepercayaan, jika sudah berkunjung ke makam Sunan Muria, jangan berziarah ke makam Sunan Kudus.

Jarak kedua makam memang tak begitu jauh, sekitar 19 km. ''Itu pantangan. Kalau berkunjung ke makam Sunan Kudus, bisa kehilangan jabatan,'' kata Shohib. Contohnya Menteri Penerangan kabinet Orde Baru, H. Harmoko. ''Setelah tak menjabat, baru Pak Harmoko mengunjungi makam Sunan Kudus,'' kata Shohib.